Halusinasi

KARYA : AMRI HJ. YAHYA.

Lama aku terpaku. Doa-doa,sejak entah kapan, selalu berdesakan di kepalaku. Tetapi, kenapa tak pernah...jadi bagian dari dagingku?Dari darahku, dari pori-poriku? Sering aku berpikir, dan ujungnya selalu sesal.Semua~doa-doa itu,menempati ronggaku~tak lebih bagai barang.Setiap bertambah hanya memakan ruang.Betapa.

Kembali aku tengadah, tiba-tiba terbelalak. Di puncak tiang itu, “Si Persatuan” telah tak ada.Dan apa yang kini kulihat...tak salahkah mataku? Seekor ular! Seekor ular, sepangkalan lengan, membelit tiang dengan kepala tegak mencaduk! Ia, ular itu,menatap lurus ke arahku.

Refleks, tanganku bergerak mengucek mata.Ketika kembali ku buka...”Si Persatuan” kembali ada! Kukerjap-kerjapkan mata.Merah-Putih.

Halusinasi? Tetapi...alangkah nyata.

Malam, Kapten datang membawaku berbicara empat mata di kamarnhya.Berunding. Tak ada kata sepakat.

Pukul 23.00, bersama Kapten Ogan, kapten kami turun ke darat menemui agen mereka.

Aku pun turun ke bawah, berunding dengan anggota tim pimpinan lain.Pak Thayeb Abdullah dan Pak Siddik Abu Bakar dari Bima,Pak Kiai Agus Alwi dari Lombok,Pak Subli Ahmad dari Banjarmasin.Sampai larut malam.

Sudah dini hari, belum juga aku tertidur. Di luar,pada suatu tempat, di pantai yang jauh entah di mana, angin darat meniup perahu nelayan ke ketengahan laut.Apakah yang mereka punya, selain keberanian?Adakah malam ini mereka berkasil memperoleh tangkapan dan besoknya, dan besoknya lagi, selalu dan senantiasa memiliki harapan?

Sebelum benar-benar tertidur, aku merasa seekor ular betul-betul melingkar di sampingku.

Ia menggeliat, merayap ke luar dari kegelapan. Ia menggeliat merayap ke luar dari kegelapan, dengan dendam dan kebencian.Karena kalian dari tanah, dari lumpur-lempung tendah, dan karena api baginya lebih tinggi.Apa yang bisa menghanguskan selain api?Ia adalah api.Lidahnya api.

Matanya api.Belitannya, apa yang kelak paling berbahaya dari segala yang mencelakakan pada dirinya,adalah api.Dan selamanya ia berpikir tak ada yang lebih menakjubkan, tak ada yang lebih mencengangkan,tak ada yang istimewa selain api.

Bagaimana kalian, wahai tanah, bisa dikatakan lebih mulia dari kami?

Bagaimana kalian, lumpur-lempung rendah, bisa dikatakan lebih tinggi?

Rumah Bulek

Ingatan tentang masa kanak-kanaknya, selalu dimulai dari sepotong jalan. Jalan tanah berlebar tiga meteran,yang satu ujungnya bertumbuk dengan jalan besar berbatuan, dan ujung satunya berbelok menurun lenyap ke tikungan.Jalan yang mersik berdebu kalau kemarau, yang segera becek berlumpur bila hujan mengguyur. Pada debu mengepul,atau dalam hujan mengucur, ia lihat dirinya yang kecil, kurus cokelat dekil,berlari-lari kecil.Dan ilalang yang rimbun menyibak di sepanjang kiri-kanan jalan (yang kuyup terangguk-angguk kalau hujan; yang bila kemarau bagai membungkuk,tertekuk, ditekan tebal debu yang membeban), heran, ia bayangkan bagai lautan.Ya, laut itu.Laut yang dibelah oleh tongkat Musa.Kenapa bisa?

Memang heran.Itu pulakah yang membuat ia selalu berlari-lari kecil, tak pernah berjalan biasa~karena seperti Musa,ada sesuatu yang mengejar di belakangnya?

Tetapi,tidak. Tak ada apa pun yang mengejar.Dan, kalaupun ada, itu bukanlah sesuatu yang muncul dari belakang; melainkan sebaliknya,sesuatu yang tengah menunggu di depan.

Di depan, di ujung jalan yang menurun lenyap ke tikungan (ya, ia lebih sering ke bagian ujung jalan ini di banding ujung jalan yang satu lagi), di situlah habis hari-harinya.Ada kolam mata air kecil,mereka menyebutnya kulah, yang kemarau apa pun airnya tak pernah susut.Tak jauh dari kulah, dihubungkan oleh jalan setapak bercorak ke bagian tanah lebih tinggi, ada surau kecil.Dari kulah juga, ke arah yang berbeda,ada tali bandar yang turun melingkar,melebar,terus melebar, yang pada suatu titik bercabang dua. Cabang yang satu membelok patah, untuk kemudian turun, menikung, menyisi mengikuti lengkung tikungan jalan.Cabang yang lain, yang lebih lebar, membelok ke arah berlawanan, terus mengalir,turun berliku menuju persawahan. Di sisi persawahan,bagai dibelah-dipisah bandar,terhampar sebidang tanah.Menggunduk meninggi,sedikit menjorok,menyerupai tanjung.Bila dilihat dari kejauhan (dari jendela surau,misalnya walau pemandangan ke sana terhalang beberapa pohon terutama kelapa), di tengah segala yang merendah,tanjung itu lebih tampak serupa pulau.Nah, di situ: di “Pulau Kecil” itulah.

Di Pulau Kecil (demikian memang ia dan teman-teman kemudian menyebutnya) itu, ada sebuah rumah.Karena berbeda dari rumah-rumah mereka (rumah-rumah adat berpanggung dengan atap-atap bergonjong yang dinamakan rumah gadang), rumah itu mereka sebut rumah bulek.Bulek dalam bahasa daerahnya berarti bulat. Ia tak mengerti kenapa orang-orang kampungnya menyebut rumah bulek bagi rumah-rumah yang bukan rumah gadang. Toh pada kenyataannya rumah bulek itu sama sekali tidak bulat, melainkan tetap bersegi,punya sudut. Perbedaan yang mencolok dalam pandangan kanak-kanaknya waktu itu,hanya terletak pada ketakadaan gonjong.Betapa aneh (dan juga tolol) bahwa,setelah bertahun-tahun kemudian, sampai kini, ia tak pernah bertanya-tanya tentang itu.

Rumah bulek itu,agaknya juga tak bisa disebut rumah. Ditegakkan hanya dengan empat tonggak, dengan jarak masing-masing tak lebih enam meter, dan diberi dinding anyaman bambu seadanya, akan lebih tepat kalau disebut dangau.Apalagi saat mereka-ia dan kawan-kawan~”menepati”-nya, rumah bulek itu telah sangat doyong dan dindingnya telah bolong. Tetapi begitulah,rumah bulek kepunyaan-peninggalan Ayang Burak, lelaki tua tak berkeluarga,punah,yang meninggal entah kapan (tolol, ia juga tak pernah menanya-nanyakan),mereka perbaiki; meluruskan,menopong sisi yang doyong,menyisik dinding-dindingnya, lalu “menepati”.Oh,betapa menyenangkan.Betapa menggembirakan.Dan...semua itu,prosesi “menghabiskan hari-hari” itu,lengkapnya kalau diurutkan,kira-kira begini:

TAMAT

Comments

Popular posts from this blog

PERINDUSTRIAN DI MALAYSIA.

RAHSIA MEMELIHARA IKAN KALOI.

KEBAIKAN BELA IKAN PUYU DALAM RUMAH.